Cerita Seks Mbak Sum Namanya I

Umurku baru 28 thn diwaktu diangkat menjadi manager tempat satu buah perusahaan consumer goods. Saya ditempatkan di Semarang & dikasih alat hunian kontrakan kategori 45. Sesudah 2-3 pekan tinggal sendirian di hunian itu lama-lama saya merasa raih serta lantaran mesti jalankan tugas hunian tangga seperti nyapu, ngepel, cuci baju, cuci perabot, bersih-bersih hunian tiap hri. Hasilnya kuputuskan cari pembantu hunian tangga yg kugaji sendiri daripada saya sakit. Melalui suatu biro tenaga kerja, sore itu datanglah seseorang perempuan seputar 35 tahunan, Sumiyati namanya, berasal dari Wonogiri & telah punyai dua anak yg tinggal dgn ortunya di desa.

“Anaknya ditinggal bersama neneknya tak apa-apa, Mbak?” tanyaku.
“Tidak, pak. Mereka kan telah besar-besar, telah SMP & SD kelas 6,” jawabnya.
“Lalu suami Mbak Sum di mana?”
“Sudah wafat 3 thn dulu dikarenakan tbc, pak.”
“Oooooo.. sempat kerja di mana saja, Mbak?”
“Ikut hunian tangga, namun berakhir sebab aku tak kuat mesti kerja tetap dari pagi hingga tengah malam, maklum keluarga itu anaknya tidak sedikit & tetap kecil-kecil.. Apabila di sini kan tuturnya cuma Bpk sendiri yg tinggal, menjadi pekerjaannya tak berat sekali.”

Narasi Sex – Bersama janji dapat kucoba lalu selagi sebulan, jadilah Mbak Sum mulai sejak kerja hri itu serta & tinggal bersamaku. Dirinya kuberi satu kamar, sebab benar-benar rumahku cuma miliki dua kamar. Pekerjaan rutinnya, seandainya pagi sebelum saya ke kantor membersihkan kamarku & menyiapkan sarapanku. Sesudah saya ke kantor barulah tempat lain, nyuci, belanja, masak dst. Ia kubuatkan kunci duplikat buat ke luar masuk hunian & pagar depan. Sesudah seminggu tinggal dengan, kami bertambah akrab. Seandainya di hunian & ga ada tamu dirinya kusuruh memanggilku “Mas” bukan “bapak” lantaran usianya lanjut usia ia.

Beruntung dirinya jujur & pintar masak maka tiap-tiap pagi & tengah malam hri saya bisa makan di hunian, tak seperti dahulu senantiasa jajan keluar. Kala makan tengah malam Mbak Sum rata-rata serta kuajak makan semeja denganku. Rata Rata, selesai cuci piring dirinya nonton Televisi. Duduk di permadani yg kugelar di depan pesawat. Jika tak ada kerjaan yg mesti dilembur saya juga ikut nonton Televisi. Saya menyukai nonton Televisi sambil tiduran di permadani, sampai-sampai ketiduran & amat sering dibangunkan Mbak Sum agar pindah ke kamar.

Suhu hawa Semarang yg tinggi tidak jarang menciptakan libidoku menjadi langsung tinggi pula. Lebih lagi cuma tinggal berdua bersama Mbak Sum & tiap-tiap hri menatap liku-liku badan semoknya, terutama apabila ia gunakan daster diatas paha.(Bila digambarkan bodynya sih mirip-mirip Yenny Farida dikala menjadi selebriti lalu). Sehingga dulu kupikir-pikir ide paling baik buat mampu mendekap tubuhnya. Sanggup saja sih saya tembak cepat memperkosanya toh beliau nggak dapat melawan majikan, tetapi saya bukan orang kategori itu. Menikmatinya perlahan-lahan pasti lebih berikan kepuasan daripada segera tembak & hanya akan nikmat sesaat.

“Mbak Sum sanggup mijit nggak?” tanyaku kala sebuah tengah malam kami nonton Televisi bareng.

Beliau duduk & saya tiduran di permadani.

“Kalau asal-asalan sih mampu, Mas,” jawabnya lugu.
“Nggak apa-apa, Mbak. Ini lho, punggungku kaku banget.. Seharian duduk konsisten hingga nggak pernah makan siang.
“Tolong dipijat ya, Mbak..” sambil saya tengkurap.

Mbak Sum serta bersimpuh di sebelahku. Tangannya sejak mulai memijat punggungku namun matanya terus mengikuti sinetron di Televisi. Uuhh.. nikmatnya disentuh perempuan ini. Mata kupejamkan, menikmati. Kala itu saya sengaja tak gunakan CD (celana dalam) & cuma gunakan celana olahraga longgar.

“Mijatnya hingga kaki ya, Mbak,” pintaku saat monitor Televisi menayangkan iklan.
“Ya, Mas,” dulu pijatan Mbak Sum mulai sejak menuruni pinggangku, tetap ke pantat.
“Tekan lebih keras, Mbak,” pintaku lagi & Mbak Sum pula menekan pantatku lebih keras.

Penisku menjadi tergencet ke permadani, nikmat, greng & makin.. berkembang. Saya tidak tahu apakah Mbak Sum merasakan jika saya tidak gunakan CD atau tak. Tangannya konsisten meluncur ke pahaku, betis sampai telapak kaki. Lumayan lama pun, nyaris 30 menit.

“Sudah raih belum, Mbak?”
“Belum, Mas.”
“Kalau raih, sini gantian, Mbak kupijitin,” usulku sambil bangkit duduk.
“Nggak usah, Mas.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Sekarang Ini gantian Mbak Sum tengkurap,” setengah paksa & merajuk seperti anak-anak kutarik tangannya & mendorong badannya agar telungkup.
“Ah, Mas ini, aku menjadi malu..”
“Malu sama siapa, Mbak? Kan nggak ada orang lain?”

Agak canggung beliau telungkup & serentak kutekan & kupijit punggungnya biar lebih tiarap lagi. Kuremas-remas & kupijit-pijit punggung & pinggangnya.

“Kurang keras nggak, Mbak?”
“Cukup, Mas..” Sementara matanya sekarang ini telah tak lagi terlampaui fokus ke monitor kaca. Kadang merem melek. Tanganku mencapai pantatnya yg tertutup daster. Kuremas, kutekan, kadang tanganku kusisipkan di antara pahanya sampai dasternya membentuk pantat gempal itu. Kusengaja berlama-lama mengolah pantatnya, toh dirinya diam saja.

“Pantat Mbak empuk lo..” godaku sambil sedikit kucubit.
“Ah, Mas ini bisa jadi.. Mbak menjadi malu ah, masak pembantu dipijitin juragannya.. Telah ah, Mas..” pintanya.
Sambil mengusahakan berdiri.
“Sabar, Mbak, belum hingga ke bawah,” kataku sambil mendorongnya balik ke permadani.
“Aku masihlah kuat kok.”

Tanganku bergerak ke arah pahanya. Meremas-remas sejak mulai diatas lutut yg tak tertutup daster, dulu semakin naik & naik merambat ke balik dasternya. Mbak Sum pertama diam tapi diwaktu tanganku semakin tinggi memasuki dasternya dirinya menjadi gelisah.

“Sudah, Mas..”
“Tenang saja, Mbak.. Agar capainya hilang,” sahutku sambil menempelkan sektor depan celanaku yg menonjol ke samping pahanya yg kanan sementara tanganku memijat segi kiri pahanya. Sengaja kutekankan “tonjolan”ku.

& seolah tidak dengan sengaja kadang-kadang kulingkarkan jari tangan ke salah satu pahanya dulu kudorong ke atas sampai menyentuh bawah vaginanya. Pasti saja gerakanku tetap di luar dasternya agar dirinya tak menolak. Mau kulihat reaksinya. & yg terdengar cuma eh.. eh.. eh.. tiap kali tanganku mendorong ke atas.

“Sekarang balik, Mbak, agar depannya kupijat sekalian..”
“Cukup, Mas, kelak raih..”
“Nggak apa-apa, Mbak, kelak gantian Mbak Sum mijit saya lagi..”

Kudorong balik tubuhnya hingga telentang. Daster di sektor pahanya agak terangkat naik. Perdana betisnya kupijat lagi dulu tanganku merayap ke arah pahanya. Naik & tetap naik & dasternya kusibak sedikit sedikit hingga tampak CD-nya.

“Mbak Sum gunakan celana item ya?” gurauku hingga ia malu-malu.
“Saya menjadi malu, Mas, tampak celananya..” sambil tangannya berikhtiar menurunkan dasternya lagi.
“Alaa.. yg utama kan nggak terlihat isinya to, Mbak..” godaku lagi sambil menahan tangannya & mengelus gundukan CD-nya & menciptakan Mbak Sum menggelinjang.

Tangannya berikhtiar menepis tanganku. Menonton reaksinya yg tak terlampaui menolak, saya tambah berani. Dasternya semakin kusingkap maka ke-2 pahanya yg agung mengkal terpampang di depanku. Tapi saya tak terburu nafsu. Kusibakkan ke-2 belah paha itu ke kiri-kanan dulu saya duduk di sela-selanya. Kupijat-pijat pangkal paha seputar selangkangannya sambil sesekali jariku nakal menelusupi CD-nya.

“Egh.. egh.. telah Mas, kelak keterusan..” tolaknya lemah.

Tangannya mengusahakan menahan tanganku, namun tubuhnya tidak menunjukkan reaksi menolak malah tergial-gial tiap-tiap kali menyikapi pijitanku.

“Keterusan bagaimanakah, Mbak?” tanyaku pura-pura bodoh sambil memajukan posisi dudukku maka penisku nyaris menyentuh CD-nya. Ia diam saja sambil masihlah memegangi tanganku biar tak keterusan.
“Ya deh, waktu ini perutnya ya, Mbak..”

Tanganku meluncur ke arah perutnya sambil membungkuk di antara pahanya. Sambil memijat & mengelus-elus perutnya, automatis zakarku (yg masihlah terbungkus celana) menekan CD-nya. Merasa ada tekanan di CD-nya Mbak Sum serentak bangun.

“Jangan Mas.. kelak keterusan.. buruk..” dulu memegang tanganku & setengah menariknya.

Cash tubuhku malah tertarik maju & menimpanya. Posisi zakarku masihlah menekan selangkangannya sedang wajah kami berhadap-hadapan hingga hembusan nafasnya terasa.

“Jangan, Mas.. janganlah..” pintanya lemah.
“Cuma begini saja, nggak apa-apa kan Mbak?” ujarku sambil mengecup pipinya.
“Aku janji, Mbak, kita cuma dapat begini saja & tak hingga copot celana,” sambil kupandang matanya & pelan kugeser bibirku menuju ke bibirnya.

Ia melengos namun disaat kepalanya kupegangi dgn dua tangan menjadi terdiam. Demikian juga waktu lidahku menelusuri relung-relung mulutnya & bibir ka+mi berciuman. Sesaat selanjutnya beliau pula mulai sejak merespons dgn hisapan-hisapannya terhadap lidah & bibirku.

Targetku hri itu benar-benar belum dapat menyetubuhi Mbak Sum hingga telanjang. Lantaran itulah kami kemudian cuma berciuman & berpelukan erat-erat, kutekan-tekankan pantatku. Bergulingan liar di atas permadani. Kuremas-remas payudaranya yg montok mengkal di balik daster. Entah berapa jam kami begituan tetap hingga hasilnya kantuk menyerang & kami tertidur di permadani hingga pagi. & dikala bangun Mbak Sum menjadi tersipu-sipu.

“Maaf ya, Mas,” bisiknya sambil memberesi diri.

Tetapi tangannya kutarik hingga dia jatuh ke pelukanku lagi.

“Nggak apa-apa, Mbak. Saya menyukai kok tidur sambil pelukan kayak tadi. Tiap tengah malam pun boleh kok..” candaku.
Mbak Sum melengos saat menyaksikan tonjolan gede di celanaku.

Sejak dikala itu hubunganku dgn Mbak Sum makin hangat saja. Saya bebas memeluk & menciumnya kapan saja. Bagai istri sendiri. & terutama kala tidur, kami menjadi lebih menyukai tidur berdua. Entah di kamarku, di kamarnya atau di atas permadani. Sengaja sewaktu ini saya menahan diri utk tak memaksanya telanjang keseluruhan & berhubungan kelamin. Bersama berlama-lama menahan diri ini lebih indah & nikmat rasanya, layaknya apabila kita menaruh makanan terenak buat disantap paling akhir.

Sampai sebuah tengah malam di ranjangku yg gede kami saling berpelukan. Saya bertelanjang dada & Mbak Sum gunakan daster. Tetap kira kira jam 9 diwaktu itu & kami konsisten asyik berciuman, berpagutan, berpelukan erat-erat saling raba, pijat, remas. Kuselusupkan tanganku dibawah dasternya dulu menariknya ke atas. Konsisten ke atas sampai pahanya menganga, perutnya terbuka & hasilnya beha putihnya tampak menantang. Tidak Dengan berbicara dasternya konsisten kulepas melalui kepalanya.

“Jangan, Mas..” Mbak Sum menolak.
“Nggak apa-apa, Mbak, hanya dasternya kan..” rayuku.

Beliau menjadi melepaskan tanganku. Serta diam saja disaat saya terang-terangan mengakses celana luarku sampai kami waktu ini tinggal berpakaian dalam. Kembali badan gempal janda montok itu kugeluti, kuhisap-hisap puncak branya yg terlihat kekecilan menampung teteknya. Mbak Sum mendesis-desis sambil meremasi rambut kepalaku & menggapitkan pahanya kuat-kuat ke pahaku cerita seks.

“Mbak Sum kepingin kita telanjang?” tanyaku.
“Jangan, Mas. Kepengen sih kepengen.. namun.. bagaimanakah ya..”
“Sudah berapa lama Mbak Sum tak ngeseks?”
“Ya sejak suami Mbak wafat.. kira-kira tiga th..”
“Pasti Mbak menjadi tidak jarang masturbasi ya?”
“Kadang-kadang jika telah nggak tahan, Mas..”
“Kalau bermain bersama cowok lain?”
“Belum sempat, Mas..”
“Masak sih, Mbak? masak nggak ada yg ingin?”
“Bukan demikian, namun saya yg nggak ingin, Mas..”
“Kalau sama saya kok ingin sih, Mbak?” godaku lagi.
“Ah, kan Mas yg sejak mulai.. & lagi, kita kan nggak hingga anu..”
“Anu apa, Mbak?”
“Ya itu.. telanjang gitu..”
“Sekarang kita telanjang ya, Mbak..”
“Eee.. bila hamil bagaimanakah, Mas?”
“Aku gunakan kondom deh..”
“Ng.. tetapi itu kan dosa, Mas?”
“Kalau yg sekarang dosa nggak, Mbak?” tanyaku mentesnya.
“Eee.. sedikit, Mas,” jawabnya bingung.

Saya tersenyum mendengar jawaban mengambang itu & kembali memeluk erat-erat badan sekalnya yg menggemaskan. Kuremas & kucium-cium pembungkus teteknya. Dirinya memeluk punggungku lebih erat. Kuraba-raba belakang punggungnya mencari dulu melepas kaitan branya.

0 komentar:

Posting Komentar